Implementasi Manajemen Publik Sektor Perumahan di Era Revolusi Industri 4.0
MAKALAH
IMPLEMENTASI MANAJEMEN PUBLIK SEKTOR PERUMAHAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Yoseph Mario Malli Ngara. April 2021
Undang-undang
Dasar 1945 menyatakan kemerdekaan negeri ini bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Karena itu, perlu ditekankan adanya keberpihakan pemerintah
terhadap penyediaan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk mengenai hunian atau
pemukiman penduduk. Keberpihakan itu semakin nyata di era otonomi daerah,
dimana pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dituntut aktif dan berperan
strategis dalam mengaktualisasikan program-program pelayanan publik. Titik
tolak dari pelayanan publik adalah keseluruhan kebutuhan masyarakat yang
selanjutnya dijabarkan dalam manajemen penyelenggaraan layanan publik.
Manajemen Publik
Menurut Shafritz dan Russel (dalam Kebab, 2008:93) diartikan sebagai
upaya seseorang untuk bertanggungjawab dalam menjalankan suatu organisasi, dan
pemanfaatan sumber daya (orang dan mesin) guna mencapai tujuan organisasi. Menurut Ott,
Hyde dan Shafritz (1990) mengartikan bahwa manajemen publik adalah upaya
untuk memfokuskan pada bagaimana organisasi publik mengimplementasikan
kebijakan publik yang telah disepakati bersama. Menurut Nor
Ghofur (2014) Mengartikan bahwa manajemen publik adalah manajemen
pemerintah, yang artinya manajemen public juga bermaksud untuk melakukan
perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan terhadap pelayanan kepada
masyarakat.
Dari penjelasan
para ahli yang telah mengemukakan pengertian manajemen publik di atas dapat
disimpulkan bahwasanya manejemen publik ialah studi interdisipliner dari aspek
umum organisasi, dan merupakan gabungan antara fungsi menejemen
seperti, planning, organizing, actuating, dan controlling dengan
sumber daya manusia, keuangan, fisik, informasi, dan publik.
Satu bidang
dimana selalu ada kekurangan baik di negara maju maupun berkembang yang
diakibatkan tekanan jumlah penduduk yaitu bidang perumahan dan permukiman.
Sebagian besar permintaan akan perumahan berasal dari berjuta-juta migran luar
kota yang datang berbondong-bondong ke kota untuk mengais rejeki dengan
berdagang, mencari pekerjaan layak dan lain sebagainya. Secara nasional
kebutuhan perumahan relatif besar, meliputi : kebutuhan rumah yang belum
terpenuhi; pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahunnya selalu bertambah
sedangkan lahan semakin sempit; serta kebutuhan peningkatan kualitas perumahan
yang tidak memenuhi persyaratan layak huni dan juga tidak sesuai dengan tata
kota, semua dapat menjadi permasalahan dalam mengikuti perkembangan dalam
revolusi industri tata kelola perumahan yang layak
Kondisi di atas
jelas menimbulkan permasalahan lingkungan, khususnya pusat kota (inner-city)
dimana akan tercipta kawasan dan lingkungan kumuh (sick districts and
neighborhoods) yang dapat diindikasikan dengan munculnya permukiman kumuh dan
liar (slum dan squatters), kematian dan kerusakan kawasan bersejarah,
kesemrawutan dan kemacetan lalulintas (traffic congestion), kerusakan kawasan
tepian air, bantaran sungai dan tepian laut, kekacauan ruang-ruang publik
(public domain,public space, public easement), lingkungan pedestrian, isi dan
arti komunitas, ketidaksinambungan ekologi kota serta ketidak seragaman
morfologi dan tipologi kota.
Indonesia
diprediksi akan mengalami bonus demografi pada 2030, teramasuk Propinsi Jawa Tengah, yang tentu akan berdampak besar
bagi berbagai lini kehidupan termasuk sektor Perumahan rakyat yang layak huni. Prediksi
ini dapat merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan bahkan ancaman. BONUS
demografi adalah meledaknya jumlah penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun)
dibandingkan usia nonproduktif (usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Jawa Tengah diprediksi akan mengalami hal tersebut, bahkan dari data BPS
Surakarta menunjukkan bahwa usia produktif terus bertambah setiap tahunnya. Kepala
Seksi Stastistik Sosial BPS Surakarta Ernita Septiana mengatakan, pertumbuhan
usia produktif cukup bergerak cepat dibeberapa kota/kabupaten. Bahkan, Jawa
Tengah sendiri kemungkinan pada 2035 akan mengalami hal tersebut. Sebab itu,
pihaknya mengimbau pada pemerintah dan stakeholder segera mengambil langkah
strategis. Sehingga ketika ledakan demografi ini terjadi, Jawa Tengah,
khususnya Kota Solo dan sekitarnya sudah siap mengarahkan.[1]
Menyikapi bonus
demografi yang dapat sebagai tantangan, peluang dan ancaman termasuk sektor
Perumahan, maka perlunya diundangkan Peraturan Daerah (Perda) Penyegahan dan
Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Pemukiman Kumuh, yakni sudah
menjadi kewajiban Pemerintah Daerah (Pemda) untuk melaksanakan pencegahan dan
peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh di wilayah
masing-masing daerah. “Sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pemerintah daerah
wajib melaksanakan dan pencegahan dan sekaligus meningkatkan kualitas terhadap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh,”
Tata kelola
pemetaan lahan perumahan menjadi sebuah tugas berat dalam era teknologi saat
ini agar dapat bersinergi dengan tuntutan jaman 25 tahun ke dapan sehingga
kenyamanan, keselamatan dan lingkungan hidup menjadi pertimbangan dalam
pengembangan kawasan perumahan, tanpa mengorbankan bidang lain yaitu pertanian
dan lingkungan hidup sehubungan dengan kelestariannya, dan asas manfaat
keutuhan alam semesta yang menjadi penyeimbang dalam ekosistem kehidupan.
Disisi lain dalam penataan tata letak kawasan perumahan, memperhatikan factor
pelayanan publik antara lain infrastruktur IT memadai, ada tata kelola yang
memadai, efektif, efisien dan masyarakat menjadi puas dengan pelayanan, nyaman
dan aman
1.
Tujuan
:
Makalah
ini bertujuan menguraikan fenomena keterkaitan dengan penambahan jumlah
penduduk, keterbatasan lahan pemukiman, semakin sempitnya lahan pertanian yang
tergantikan dengan lahan pemukiman dan tata kelola kawasan perumahan agar
teritegrasi dengan prinsip manejemen publik yaitu memperhatikan pola menejemen
Perencanaan (planning), Melaksanakan (organizing and actuating), dan Evaluasi (controlling) dengan
sumber daya manusia yang handal, visioner bersumber dari teknologi informasi.
Dapat
menjadi masukan bagi pengambil kebijakan bahwa factor pemetaan kawasan
perumahan sebagai program berbasiskan teknologi informasi yang mempertimbangkan
factor lingkungan, ekonomi, politik, budaya dan social sehingga apa yang
diamanatkan undang-undang dan bentuk pelayanan publik dapat terwujud
George R Terry
(2012) menyebut manajemen sebagai proses yang khas, yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan pelaksana, dan pengendalian yang
dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan dengan
memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Sementara Ratminto
Jatman dan Atik Septi Winarsih (2005) menjelaskan manajemen pelayanan publik
sebagai suatu proses penerapan ilmu dan seni untuk menyusun rencana, mengimplementasikan
rencana, mengoordinasikan dan menyelesaikan aktivitas - aktivitas pelayanan
demi tercapainya tujuan pelayanan. Mengoordinasikan berbagai aktivitas sama dengan
mengorganisasikan, menggerakkan dan mengawasi kegiatan atau program tersebut. [2]
Sektor Perumahan
menjadi salah satu hal penting dalam penerapan manajemen public, terutama
dengan perkembangan jaman terdapat banyak permasalahan yang dapat menjadi
ancaman social. Ancaman yang dapat terjadi antara lain pemukiman liar dan
kumuh. Model penanggulangan permukiman kumuh dan liar dapat berwujud: (1)
program peremajaan kota (urban renewal), dimana merupakan proses yang sangat
mahal karena dihadapkan pada terbatasnya lahan dan tingginya nilai lahan
perkotaan; (2) program perbaikan kampung (kampong improvement programme),
dimana berupaya meningkatan kualitas kawasan perumahan dan permukiman diatas
lahan yang memiliki status legal (sesuai RT/RW) yang secara fisik masih
dimungkinkan untuk melakukan perbaikan secara partial sehingga tidak harus melakukan
perombakan yang mandasar dan atau menggusur; (3) rumah susun, dimana
mempergunakan konsep membangun tanpa menggusur dimana terdiri dari rumah susun
sewa sederhana dan rumah susun sederhana KPR; (4) relokasi (Resettlement), dimana
merupakan proses pemindahan penduduk dari satu lokasi permukiman yang tidak
sesuai dengan peruntukannya ke lokasi baru yang disiapkan sesuai dengan rencana
pembangunan kota; (5) konsolidasi lahan (land consolidation), dimana merupakan
suatu model pembangunan yang didasari oleh kebijakan pengaturan penguasaan
lahan, penyesuaian penggunaan lahan dengan Rencana Tata Guna Lahan atau Tata
Ruang dan pengadaan tanah; (6) pembagian lahan (land sharing); (7) pengembangan
lahan terarah (guide land development), dimana merupakan alternative penanganan
pengendalian perkembangan daerah pinggiran yang direncanakan untuk menampung
kebutuhan perluasan daerah permukiman atau kegiatan fungsional produktif
lainnya.[3]
Permukiman
mengandung dua kata yang berbeda yaitu isi dan wadah. Isi menunjuk pada manusia
sebagai penghuninya maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya, sedangkan wadah
menunjuk pada fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan
manusia. Permukiman dapat diimplementasikan sebagai suatu tempat bermukim
manusia yang menunjukan suatu tujuan tertentu (Sastra, 2005). Dengan demikian
permukiman harus memberikan rasa nyaman kepada penghuninya termasuk bagi orang
yang datang ke tempat tersebut. Sifat dan karakter suatu permukiman lebih kompleks
dibandingkan dengan sifat dan karakter dari perumahan karena mencakup batasan
ruang lingkup dan luas yang lebih besar.[4]
Dalam manajemen
publik khususnya sektor perumahan yang memperhatikan prinsip perencanaan (planning),
Melaksanakan (organizing and actuating), dan Evaluasi (controlling) dengan
tantangan jaman yaitu kemajuan teknologi. Dikenal dengan smart city (kota yang
berbasis teknologi) era 4.0 dengan bentuk pelayanan public yang berbasiskan
teknologi informasi komputerisasi. Merujuk
pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, disebutkan bahwa "Dalam rangka memberikan dukungan informasi
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan Sistem
Informasi yang bersifat nasional" sementara di Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Penyelenggara berkewajiban
mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas Sistem Informasi Elektronik atau
Non elektronik yang sekurang-kurangnya meliputi; profil penyelenggara, profil
pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelola pengaduan dan
penilaian kinerja[5]
Mengedepankan
proses adaptasi terhadap teknologi informasi sebagai salah satu solusi dalam
memperhatikan kebutuhan jaman demi kesejahteraan masyarakat khususnya sektor
Perumahan. Kawasan Perumahan sebagai salah satu sektor manajemen pelayanan
publik hendaknya ditetapkan sebagai barang strategis (konstitusi, sosial,
ekonomi, budaya dan ekologis) melalui Peraturan Pemerintah sehingga bahan
bangunan (besi,beton dan semen) dan peralatan mekanikal dan elektrikal/MdanE
(lift, generator, pompa, sprinler, smoke/fire detector, dsb) memperoleh
pembebasan PPN. Pengintegrasian kawasan secara tidak langsung akan menyebabkan
penggunaan lahan dan pembangunan infrastruktur lebih efisien, meningkatkan
kegiatan ekonomi masyarakat kecil, menyerap tenaga kerja, mengurangi penggunaan
energy transportasi sekaligus pencemaran lingkungan.
Diperlukan
komitmen, konsistensi dan profesionalisme dunia usaha untuk turut serta dalam
penyediaan perumahan rakyat menengah bawah dan masyarakat berpenghasilan
rendah. Program-program community development dan corporate social
responsibility harus mulai diterapkan perusahaan-perusahaan besar.[6]
1.
PERMASALAHAN
PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik dasar merupakan hak
konstitusi warga, yang telah dipertegas oleh UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Namun
hingga kini persoalan pelayanan publik di Indonesia tetap bagaikan gunung es
yang tidak bisa mencair. Mulai dari masalah pendidikan dan kesehatan yang makin
mahal tapi buruk yang menutup akses bagi kelompok rentan hingga masalah
pengurusan dokumen yang birokrasi walaupun hal tersebut merupakan bagian dari
hak warga untuk mendapatkan pengakuan identitas sebagai warga negara. Setidaknya
terdapat empat permasalahan mendasar dalam pelayanan publik di Indonesia yang
perlu mendapatkan sorotan. Sektor lain juga mengalami hal yangsama karena
prinsip pelayanan belum menjadi sebuah komitmen yang dilaksanakan.
Publik selalu menuntut kualitas
pelayanan publik dari birokrat, meskipun tuntutan ini tidak sesuai dengan harapan karena pelayanan publik
secara empiris yang terjadi selama ini masih ditandai dengan hal-hal seperti
berbelit-belit, lambat, mahal, ketidakpastian melelahkan,. Dalam keadaan seperti itu terjadi karena orang masih
diposisikan sebagai pihak yang "melayani" tidak dilayani. Jika dianggap isu-isu
pelayanan publik di Indonesia, masalah utama dari pelayanan publik saat ini
dikaitkan dengan peningkatan kualitas layanan itu sendiri.
Dalam bidang Perumahan. Kawasan
Permukiman menjadi salah satu hal yang serius diperhatikan untuk visionernya
pembangunan yang bersinergi untuk mencapai smart city yang ideal. Buruknya
pelayanan publik akan berimplikasi pada
penurunan investasi yang dapat berakibat terhadap pemutusan hubungan kerja pada
industri-industri dan tidak terbukanya lapangan kerja baru yang juga akan
berpengaruh terhadap meningkatnya angka pengangguran. Akibat lebih lanjut dari
masalah ini adalah timbulnya kerawanan sosial. Perbaikan pelayanan publik akan bisa
memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini untuk dapat
segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam berbagai studi yang dilakukan terhadap pelayanan
publik ini rupanya tidak berjalan linear dengan reformasi yang dilakukan dalam berbagai sektor sehingga pertumbuhan investasi malah bergerak ke arah negatif. Akibatnya
harapan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menolong bangsa ini keluar
dari berbagai krisis ekonomi belum terwujud
sesuai dengan harapan.
Sementara dalam kehidupan politik,
buruknya pelayanan publik berimplikasi dalam terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya pelayanan publik selama ini menjadi salah satu variabel penting
yang mendorong munculnya krisis kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan tersebut teraktualisasi dalam bentuk protes dan demonstrasi yang cenderung
tidak sehat, hal itu menunjukkan kefrustasian publik terhadap pemerintahnya.
Sehubungan dengan itu perbaikan pelayanan publik mutlak diperlukan agar image
buruk masyarakat kepada pemerintah dapat diperbaiki, karena dengan perbaikan kualitas pelayanan
publik yang semakin baik dapat mempengaruhi kepuasan masyarakat sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dapat dibangun kembali. Dari segi sosial
budaya, pelayanan publik yang buruk mengakibatkan terganggunya psikologi
masyarakat yang terindikasi dari berkurangnya rasa saling menghargai di kalangan
masyarakat, timbulnya saling curiga meningkatnya sifat eksklusifisme yang berlebihan,
yang pada akhirnya menimbukan ketidakpedulian masyarakat baik terhadap pemerintah
maupun terhadap sesama. Akibat yang
sangat buruk terlihat melalui berbagai kerusuhan
dan tindakan anarkis di berbagai daerah.
Seiring dengan itu masyarakat cenderung memilih jalan pintas yang menjurus
kearah negatif dengan berbagai tindakan yang tidak rasional dan cenderung
melanggar hukum.
Program pemerintah pusat yang bertujuan
untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan janji kampanye antara lain perumahan
bersubsidi bagi masyarakat tidak mampu secara bertahap telah berjalan dengan
baik. Dalam penerapan dilapangan masih terjadi penerima bantuan rumah
bersubsidi tidak hanya kalangan tidak mampu namun juga ada yang mampu namun
mendaftar sebagai penerima bantuan perumahan bersubsidi sehingga bersaing
dengan masyarakat yang tidak mampu. Pengawsan melekat dari pihak terkait
dibutuhkan dalam peristiwa ini agar tepat sasaran.
Perumahan bersubsidi juga menjadi
sorotan terkait kualitas bangunan, sarana prasarana umum dan faktor lainnya.
Pengawasan yang asal-asalan tanpa uji kelayakan dan uji penyelesaian, maka mutu
infrastruktur menjadi menurun dan pada akhirnya juga menjadi rumah yang tidak
layak huni, kumuh dan bahkan menjadi permasalah baru bagi masyarakat yang
menempatinya. Hal lain yang dapat terjadi adalah pembebasan lahan, dapat
menjadi masalah apabila lahan hijau yang subur dibebaskan untuk kawasan perumahan, ini akan
mengganggu iklim pertanian, hanya karena pertimbangan investasi perumahan
dengan mengabaikan ekosistem.
Sinergi yang visioner inter pemerintah
dalam pengembangan tata kelola perkotaan menjadi masalah tersendiri, apalagi
diikuti dengan kepentingan kelompok, golongan dan politik, sehingga mengabaikan
program visioner dalam tata kota. Lahan hijau diijinkan menjadi kawasan
perumahan, penataan lokasi perumahan yang tidak terencana dan juga hanya
berorientasi pada investasi pengembang tanpa memperhatikan faktor ekologis,
keamanan dan kenyaman termasuk transportasi. Tidak sedikit kasus korupsi
terjadi hanya karena keperpihakan pada developer, mengabaikan keselamatan,
kenyamanan dan kelayakan huni masyarakat.
Komentar
Posting Komentar